Monday, November 24, 2008

Memetik Nilai Tarbawi dari kisah Lukmanul Hakim


Kita sudah sering mendengar bahkan membaca nama Lukmanul Hakim, tepatnya di dalam al-Qur'an surah Luqman. Sekilas tentang beliau para ulama terbagi kepada dua persepsi: Pertama: persepsi yang mengatakan bahwa beliau adalah manusia biasa seperti kita dan tidak diberikan wahyu oleh Alllah SWT. baik itu untuk ia sampaikan kepada keluarganya lebih-lebih lagi untuk orang lain. Kedua: persepsi yang mengatakan sebaliknya, yaitu bahwa beliau Lukmanul Hakim adalah seorang nabi tapi bukan seorang rasul. Pendapat ini dimotori oleh dua orang ulama yang nama mereka tertulis tinta emas di barisan tabiin, yaitu Ikrimah dan Assya’bi.

Perselisihan ulama ini bertolak dari kealfaan al-Qur'an secara terperinci menjelaskan tentang sosok mulia ini. Selain menyipatinya sebagai seorang yang penuh hikmah. Namun ada dikalangan penafsir al-Qur'an yang mencoba mencari tahu tentang beliau lewat nash-nash al-Qur'an yang mereka pahami. Sebagian mufassir ada yang mengatakan beliau adalah anak Bibi nabi Ayyub a.s. disebutkan juga beliau hidup selama seribu tahun dan dia adalah seorang hakim dikala itu dikalangan Bani Israil.

Banyak hal dari segi tarbawi yang dapat dipetik dari kisah Luqmanul Hakim bersama anaknya, yang terukir indah didalam al-Qur’anul Karim. Bertolak dari masalah aqidah, dimana beliau mengajarkan kepada anaknya aqidah yang benar dengan tidak menyekutukan Allah SWT. seperti dalam surah Lukman, Allah SWT. berfirman: wahai anakku janganlah engkau menyekutukan Allah, sesungguhnya menyekutukan Allah itu (assyirku) adalah kegelapan yang teramat besar. Begitu juga dari segi akhlak, dimana beliau mengajarkan bagaimana tata cara hidup bermasyarakat yang benar, terutama antara seorang anak terhadap kedua orang tuanya, hingga ke masalah ibadah kepada Allah SWT. dimulai dengan shalat dst. Yang merupakan sebuah manifestasi dari aqidah yang terpancang.


Namun, disini penulis hanya ingin mengajak pembaca untuk menelaah satu saja dari sederetan hikmah yang ada pada kisah Lukman.r.a. Yaitu perintah shalat. Sebagaimana dalam firman Allah SWT: wahai anakku dirikanlah shalat...Suatu yang mungkin menjadi pertanyaan kita, kenapa harus shalat yang menjadi titik awal nasehat Lukman setelah menanamkan benih aqidah didalam sanubari sang anak? Secara global barangkali bisa kita beri alasan bahwa shalat selain ibadah yang merupakan prioritas untuk di pertanggung-jawabkan diakhirat nanti, terlebih lagi shalat adalah bentuk ibadah pertikal antara makhluk kepada Sang Khalik, Allah SWT.Jika kita cemati dari firman Allah SWT. yang disampaikan melalui Lukman, dalam perintah shalat kita akan menemukan lafal ‘aqim’ yang mempunyai makna dirikanlah. Dan tidak memakai lafal ‘shalli’yang bermakna shalatlah. Ini mengandung nilai bahwa seorang muslim dalam pelaksanaan shalatnya tidak cukup hanya dengan ritualitas yang terdapat didalamnya ruku’, sujud dst. Namun, yang patut untuk diperhatikan adalah syarat dan rukun yang terkandaung didalamnya, seperti thoma’ninah dan lain sebagainya yang akan mengantar seseorang, muslim tentunya dalam melaksanakan shalatnya kepada kekhusu’an. Sehingga pada akhirnya shalat tidak saja sebagai suatu kewajiban yang dianggap hanya sebagai beban, akan tetapi lebih dari itu merupakan sebuah kebutuhan.



Setidaknya ada lima butir nilai tarbawi yang dapat kita petik dari perintah shalat:



Pertama: nilai akhlak.

Yaitu antara makhluk dan Sang Khaliknya. Firman Allah SWT: dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Suatu praktekulasi dari perintah shalat baru bisa dijamin kebenarannya, ketika diluar shalat ia bisa menjadi penuntun pelaksananya kearah perbuatan yang terbebas jauh dari berbagai bentuk kekejian dan kemungkaran. Ini mengindikasikan bahwa, ritualitas berbentuk shalat mempunyai semacam power yang mampu menghasilkan dampak positif dalam hal tata cara interaksi seorang makhluk dengan Sang Khaliknya. Dengan kata lain, melaksanakan segala perintahNya dan menjauhkan segala laranganNya.



Kedua: nilai sosial kemasyarakatan.

Dalam pelaksanaan shalat umat muslim dianjurkan berjamaah, yang melibatkan dua orang atau lebih. Hal ini ditopang oleh sabda rasul SAW: sesunguhnya shalat jamaah lebih baik dari pada shalat sendiri dengan 27 derajat. Sebagai seorang muslim dalam hidup bermasyarakat sangat dibutuhkan sekali kesepahaman antara satu kepala dengan kepala yang lainnya, antar satu golongan dengan golongan yang lainnya. Suatu komunitas masyarakat tidak akan terjalin secara harmonis tanpa kita saling tiv and give dalam hidup sehari-hari. Sebagaiman rasulullah SAW. mengajarkan kepada kita untuk hidup bersosial, dimana ketika beliau dan istrinya mengetahui ada diantara tetangganya yang kehabisan makanan, lalu rasul SAW. memberikan bekal yang mereka miliki, sementara tidak ada tersisa untuk mereka. Begitu juga dalam hal pergaulan sehari-hari, rasul SAW. sangat memelihara keharmonisan bermasyarakat, bahkan terhadap kelompok beda agama sekalipun. Jika kita amati dalam pelaksanaannya, shalat jamaah didalamnya terdapat dua komponen yang harsus seiring-sejalan, yaitu tukang azan, dan imam. Seorang imam tidak mungkin berdiri didepan jamaah untuk menjadi imam sebelum muadzin melaksanakan iqomah. Demikian halnya dengan makmum, ia tidak akan mendapat pahala jamaah jika tidak berniat mengikut imam. Mungkin, jika kita uraikan dalam lingkup yang lebih luas lagi, bahwa seorang presiden tidak mungkin jadi presiden tanpa ada campur tangan masyarakat yang memilihnya. Sebaliknya mereka yang dipimpin, tidak hanya bisa memilih tapi juga patuh terhadap aturan yang dicanangkan. Demikian halnya dalam bermasyrakat, katakanlah masyarakat pedesaan. Disana harus ada aturan yang mesti ditaati dan seseorang yang tegak untuk mengemban amanah yang tidak lain melainkan untuk kemaslahatan bersama.Itulah shalat berjamaah, ia mengajarkan kita umat ini untuk selalu memupuk persamaan bukan perbedaan yang dikemas dalam kata; persatuan dan kesatuan dan membuang jauh bentuk perpecahan.



Ketiga: nilai mentalitas.

Diantara syarat seseorang baru boleh melaksanakan shalat harus berakal, sebaliknya orang yang tidak berakal tidak dibebani kewaiban ini. Ini menunjukkan begitu islam sangat menghargai akal. Bukan menyalah-gunakannya. Mentalitas seorang muslim begitu terdidik dengan lingkungannya yang islami. Sebagaimana disetiap shalat mereka dididik untuk peka terhadapa suara azan yang mendayu-dayu mengundang mereka untuk shalat. Sehingga dalam sebuah hadits disebutkan yaitu ketika beliau bercerita tentang kelompok yang dijamin oleh Allah SWT untuk masuk surga tanpa hisab: laki-laki yang hatinya selalu berhubungan dengan mesjid. Ialah diantara yang masuk syurga tanpa hisab.



Kelima: Nilai keindahan.

Dalam sebuah hadits rasulullah SAW. bersabda: sesungguhnya Allah itu indah dan suka keindahan. Kemudian dihadits yang lain pula rasulullah SAW bersabda: kebersihan itu setengah daripada iman. Shalat tidakkan sah jika tidak didahului dengan bersuci, karena itu diantara syaratnya, baik dari hadas besar (junub) maupun kecil(al-wudhu). Berwudhu pun belum boleh sebelum beristinja alias bersuci dari kencing dan tahi, jika dituntut. Kemudian, ketika hendak berwudhu kita disunatkan bersiwak. Sebagaimana sabda nabi kita Muhammad SAW yang diriwayatkan dari Abi Hurairah: Andai aku tidak keberatan terhadap orang-orang mukmin, niscaya aku akan suruh mereka untuk bersiwak disetiap ingin melaksanakan shalat.



Bahkan, setelah semuanya selesai, beristinja dan berwudhu sebelum turun ke mesjid kita dianjurkan pula untuk memakai pakain yang bersih dan indah serta wangi-wangian. Seperti firman Allah SWT. dalam surah al-A’raf ayat 31: ya bani aadam khuzduu ziinatakum ‘inda kullimasjidin. Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini: Disunatkan berhias ketika hendak melaksanakan shalat, terlebih lagi pada hari Jum’at dan hari raya dan disunatkan pula memakai wangi-wangian dan bersiwak, karena wangian-wangian adalah merupakan perhiasan, sedangkan siwak adalah pelengkapnya.Demikian juga shaf dalam shalat jamaah. Kita dianjurkan untuk selalu meluruskannya. Seperti yang diajarkan baginda rasulullah SAW. yang mana ia tidak mengimami para sahabat sebelum memberitahukan kepada mereka supaya meluruskan dan merapikan shaf mereka.



Keenam: nilai fisik.

Merupakan nilai terakhir dari pelaksanaan ibadah shalat. Shalat yang kita lakukan sebanyak lima waktu sehari-semalam selain sebuah ibadah yang teramat mulia juga merupakan sarana olah-tubuh. Selain olah raga bagi anggota tubuh shalat dengan segala gerakan didalamnya dan disertakan bacaan-bacaan tertentu yang mesti dibaca sehingga semakin meningkatkan kekhusu’an dalam pelaksanaannya, dapat juga memberikan penyegaran bagi otak.


Segi fisikologis yang ditawarkan dalam pelaksanaan shalat ini dapat terlihat dari persiapan yang dilakukan seorang muslim ketika hendak menggelarkan kewajiban mulia ini. Yaitu terampilnya seorang muslim ketika hendak menggelarkan perintah mulia ini dalam keadaan bersih, baik itu bersih rohani maupun jasmani. Sebagaimana kita tahu bahwa kebersihan merupan sumber utama kesehatan, jasmani dan rohani.



Demikianlah kita lihat, bahwa shalat didalamnya mengandung banyak nilai-nilai tarbawi yang tertumpu pada satu nilai, yaitu ruhiah dan akhlaqiah.



Semoga butir-butir nilai tadi tidak hanya menghiasi baris kata-kata pada tulisan ini, akan tetapi menjadi batu loncatan bagi kita untuk terus dan selalu memperhatikan kwalitas shalat kita dan memperbaikinya. Terutama kita mejadikan cara Lukaman r.a dalam mendidik anaknya sebagai pedoman.Wallahu a’lam bisshawab(Helio Polis, 27 Juli 08)



Sebagai referensi: Al-Qur’an dan tulisan Dr. Thaha Yasin Nahirul Khotib (dosen bahasa arab dan kajian islami Fakultas Adab Universitas Bahrain)

No comments: